Kasus Suap Ekspor CPO
YLBHI Minta Kejagung Tinjau Ulang Penggunaan Delik OOJ dalam Kasus Direktur Pemberitaan JakTV
YLBHI meminta Kejagung untuk meninjau ulang penggunaan delik pidana obstruction of justice dalam kasus yang melibatkan Direktur Pemberitaan JakTV.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang penggunaan delik pidana obstruction of justice (OOJ) atau perintangan penyidikan dalam kasus yang melibatkan Direktur Pemberitaan JakTV.
Ketua YLBHI Muhamad Isnur mengatakan, penggunaan sejumlah pasal seperti Pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tentang obstruction of justice harus digunakan secara hati-hati.
Baca juga: Direktur Jak TV Terjerat Kasus Perintangan Penyidikan, Dewan Pers Ogah Cawe-cawe Proses Hukum
Hal itu dikarenakan, pasal tersebut berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum pada kasus tindak pidana korupsi.
"Mendorong Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang penggunaan delik pidana obstruction of justice," kata Isnur, dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).
Isnur juga meminta Kejaksaan Agung untuk membuka akses atau menjelaskan substansi konten pemberitaan JakTV yang dijadikan alat bukti dalam kasus tersebut.
Hal tersebut menurutnya perlu dilakukan, agar publik dapat menilai apakah konten tersebut memenuhi unsur pidana atau sekadar kritik terhadap proses hukum.
Ia menyebut, publikasi pemberitaan media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media, dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Selain itu, Isnur mendesak Dewan Pers untuk segera melakukan pemeriksaan etik terhadap oknum jurnalis yang diduga melakukan pelanggaran.
Baca juga: Dewan Pers Turun Tangan, Periksa Dugaan Pelanggaran Etik Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar
Ia menekankan, konten publikasi yang dijadikan alat bukti oleh Kejaksaan Agung dalam kasus yang melibatkan Direktur Pemberitaan JakTV harus bisa diakses publik, terutama Dewan Pers, agar dapat dinilai ada atau tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik yang terjadi.
"Pengabaian atas mekanisme penilaian etik dalam rezim hukum kemerdekaan Pers akan berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ekosistem kemerdekaan Pers," tegasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau obstruction of justice.
Diketahui, advokat Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau obstruction of justice.
Kejaksaan Agung menyebut advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan sejumlah kasus.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan, upaya penggagalan tersebut diduga mereka lakukan dalam penyidikan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.