Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien
Bagaimana Priguna Dapat Obat Bius untuk Rudapaksa Anak Pasien? Ini Penjelasan Dirut RSHS
Terungkap cara terduga pelaku Priguna Nugraha Pratama mendapatkan obat bius untuk melancarkan aksi bejatnya kepada korban.
Penulis:
Rina Ayu Panca Rini
Editor:
Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA聽鈥 Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Rachim Dinata Marsidi mengungkapkan, cara terduga pelaku Priguna Nugraha Pratama mendapatkan obat bius untuk melancarkan aksi bejatnya kepada korban.
Pelaku ujar Rachim, mengambil sisa-sisa obat bius yang sebelumnya digunakan pasien.
鈥淥knum ini mengambil sisa-sisa obat bius yang sudah dimasukkan ke pasien. Misalnya, ada dua botol, ada sisanya, nah sisa itu dia yang ambil,鈥 kata dia dalam konferensi pers di kantor Kemenkes Jakarta, Senin (21/4/2025).
Pihaknya mengklaim, dalam urusan keluar masuk obat di instalasi farmasi RSHS sudah diawasi secara ketat dan dicatat dengan benar.
Baca juga: Imbas Kasus Dokter Priguna, Terkuak Marak Dokter Anestesi Alihkan Tugas di Ruang Bedah ke Murid PPDS
鈥淒i RS kami jika mengeluarkan dua obat, maka harus dikumpulkan dua. Itu jelas secara histori, sangat-sangat ketat di RSHS,鈥 tegas Rachim.
Rachim mengatakan, dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan dokter PPDS anestesi itu pihaknya mengaku tidak memantau jika ada sisa obat bius yang disimpan pelaku.
鈥淚ni pelanggaran kriminal. Tidak terpantau, karena tidak dikembalikan ke tempat semestinya,鈥 kata dia.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin menyoroti lemahnya pengawasan terhadap obat bius di RS pendidikan milik pemerintah ini.
Budi menyebut, bahwa yang bisa mengambil obat bius adalah dokter pembimbing atau dokter konsulen bukanlah dokter PPDS.
Baca juga: Demi Bisa Damai, Pihak Dokter Priguna Tawari Uang Rp200 Juta ke Korban, Sempat Mau Diterima
鈥淗arusnya obat itu diambil oleh gurunya (dokter konsulen) bukan muridnya,鈥 kata Menkes, pada 聽Sabtu (12/4/2025).
Di kesempatan berbeda, pengamat manajemen kesehatan dr. Puspita Wijayanti menilai, obat anestesi termasuk dalam kategori high alert medication, yakni obat yang berisiko tinggi yang menyebabkan cedera serius atau kematian jika digunakan secara tidak tepat.
Karena itu, pengelolaannya harus ketat, transparan, terdokumentasi, dan terbatas hanya untuk tenaga medis yang berwenang. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.