Kirim Surpres ke DPR Terkait UU KPK, Jokowi Dinilai Ingkar Janji Pemberantasan Korupsi
Presiden Joko Widodo secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan Revisi UU KPK
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan bet365×ãÇòͶעnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masa depan pemberantasan korupsi terancam. Belum selesai dengan proses pemilihan Pimpinan KPK yang menyisakan banyak persoalan, kali ini lembaga antirasuah mesti dihadapkan dengan ancaman legislasi oleh DPR, yakni revisi UU KPK.
Diketahui pada Rabu (11/9/2019) kemarin Presiden Joko Widodo secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan revisi UU KPK bersama DPR.
"Hal yang patut untuk disesalkan adalah sikap dari Presiden Joko Widodo terkait revisi UU KPK. Tentu ini menunjukkan ketidakberpihakan Presiden pada penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Rhamadana kepada wartawa, Kamis (12/9/2019).
Kurnia mengatakan setidaknya ada empat catatan penting dalam menanggapi persoalan ini.
Pertama, Jokowi terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang. Padahal, Pasal 49 ayat (2) UU No 12 tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.
"Harusnya waktu itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahlan KPK," ujarnya.
Kedua, Kurnia menilai, Jokowi abai dalam mendengarkan aspirasi masyarakat. Pasalnya, berbagai elemen masyarakat, organisasi, dan tokoh banyak yang menentang revisi UU KPK. Bahkan lebih dari 100 guru besar dari berbagai universitas menentang pelemahan KPK dari jalur legislasi ini.
Baca: 16 LBH-YLBI Desak Jokowi Hentikan Pembahasan Revisi UU KPK
"Kejadian ini pun seakan mengulang langkah keliru Presiden saat proses pemilihan pimpinan KPK yang lalu. Harus diingat bahwa presiden bukan hanya kepala pemerintahan, namun juga kepala negara yang mesti memastikan lembaga negara seperti KPK tidak dilemahkan oleh pihak-pihak manapun," tegasnya.
Ketiga, lanjut Kurnia, Jokowi ingkar janji tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu anti korupsi. Tegas disebutkan pada poin 4 Nawa Cita dari Jokowi, bahwa menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
"Dengan presiden menyepakati revisi UU KPK usulan dari DPR ini rasanya Nawa Cita Presiden sama sekali tidak terlihat," katanya.
Terakhir, ICW menilai Jokowi mengabaikan prosedur formil dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 telah mensyaratkan bahwa revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Selain itu, dalam tata tertib Pasal 112 (1) jo Pasal 113 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa rancangan undang-undang sebagaimana disisin berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.
"Jika melihat faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas," ujarnya.