Ormas minta THR jelang Lebaran, 'pemerintah sibuk omon-omon' – Apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?
Jelang Lebaran, praktik pemerasan berbalut permintaan tunjangan hari raya (THR) dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) kembali…
"Presiden tadi memerintahkan TNI, Polri, dan Kejaksaan untuk menindak hal-hal seperti itu. Nanti dipelajari dengan baik. Pokoknya harus tertib," ujar Luhut seperti dikutip Kompas.com.
Sementara itu Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, mengatakan pemerintah akan menempuh langkah hukum untuk menyelesaikan keluhan pengusaha atas aktivitas ormas yang meminta THR.
"Kita terus berkoordinasi dengan para aparat hukum untuk bisa menyelesaikan itu," katanya, seperti dikutip situs Kompas.com.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan setiap laporan yang masuk dari pengusaha akan ditindaklanjuti secara serius.
"Polri tidak akan menoleransi segala bentuk premanisme yang mengancam investasi dan stabilitas ekonomi nasional," tambahnya lagi, seperti yang dikutip kantor berita Antara.
Seberapa sulit menghilangkan preman(isme)?
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan pemerasan berkedok meminta THR kepada pengusaha tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi.
"Ada situasi umum perekonomian Indonesia yang makin berat, makin lesu. Pemerintah sibuk omon-omon tidak pernah men-deliver janjinya. Sibuk dengan program populis yang semuanya makan duit," tukasnya.
Dia menggarisbawahi bahwa praktik tersebut tidak eksklusif dilakukan oleh para preman. Aparat, kata dia, juga bisa melakukan tindakan tersebut.
"Ada aparat TNI, Polri, Pemda, Imigrasi, Satpol PP. Mereka meminta sesuatu dari pengusaha karena mereka punya kewenangan," sebutnya.
Semuanya, kata Adrianus, mempraktikkan tindakan yang disebutnya premanisme.
"Premanisme itu suatu keyakinan bahwa dengan model kegiatan preman, seseorang bisa dapat duit. Sulit untuk menghilangkan praktik premanisme karena semua orang mendapatkan manfaatnya," ujarnya.
Menurut Adrianus, praktik minta jatah THR ini akan terus berulang dan bisa terjadi dalam berbagai bentuk.
"Sepanjang sejarah, pengusaha swasta selalu dilihat sebagai sapi perah yang bisa dieksploitasi dengan berbagai alasan. Minta THR, minta pekerjaan, minta jadi vendor," jelasnya.
Apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?
Preman dan premanisme telah berakar lama di Indonesia.
Beberapa sejarawan, semisal Onghokham dan Henk Schulte Nordholt, telah mengaitkan premanisme dengan merebaknya fenomena "jago" di Jawa pada abad ke-19.
Nordholt (1991) menyebut 'jago' adalah 'pahlawan lokal', makelar kekuasaan, kriminal, sekaligus seorang yang sakti. Mereka meneguhkan kekuasaannya lewat intimidasi dan kekerasan, serta muncul dari absennya administrasi dan kekuasaan negara di tingkat lokal.
Pada masa Revolusi, tidak hanya tentara saja yang terlibat dalam perjuangan militer. Laskar-laskar jago/preman bersama pemuda juga ikut melawan Belanda.
Kevin O'Rourke, jurnalis dan penulis buku Reformasi: The struggle for power in post-Soeharto Indonesia, menyebut Orde Baru juga memanfaatkan organisasi paramiliter semacam Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga untuk tugas-tugas 'memelihara rezim.'
Ditulis BBC beberapa waktu lalu, Ricardi S. Adnan selaku Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia, menilai pejabat pemerintah justru belajar dari politik adu domba atau divide et impera ala penjajah Belanda untuk menjalankan kontrol sosial.
Kelompok sipil yang menentang kebijakan tertentu, sengaja dihadapkan dengan kelompok sipil lainnya—dalam hal ini ormas—yang sebenarnya adalah kepanjangan tangan pemerintah.
"Jadi, menghadapi massa dengan massa juga," kata Ricardi.
"Kalau ada yang mengganggu gugat, dia tidak perlu repot, bisa ditangani [kelompok] yang sudah dibina selama ini."
Di sisi lain, para anggota ormas yang "dibina" merasa memiliki beking kuat, sehingga berani bertindak semena-mena di lapangan layaknya preman, imbuhnya.
Setelah masa Reformasi keterlibatan dan dukungan negara pada organisasi-organisasi ini melemah.
Tapi itu bukan berarti praktik dan keberadaan organisasi preman menghilang.
Sebaliknya, peneliti Ian Wilson dalam artikelnya Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia menyebut semangat desentralisasi dan 'demokratisasi' era Reformasi juga turut menyuburkan tumbuhnya organisasi-organisasi preman di tingkat lokal.
Mereka tidak bergantung pada patron negara, tidak terpusat, saling berkompetisi untuk memperebutkan remahan-remahan sumber ekonomi, dan menawarkan jasa 'keamanan' pada sektor-sektor swasta, termasuk pemilik-pemilik pabrik untuk menakut-nakuti pekerja, membubarkan unjuk rasa, dan mengintimidasi jurnalis.
Organisasi preman ini, menurut dia, lahir sebagai produk dari kemiskinan dan pengangguran.
Jadi, apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, tidak melihat keseriusan pemerintah untuk memberantas premanisme, yang jadi pangkal permintaan THR dari ormas.
"Tidak ada kegiatan jangka panjang dan berkelanjutan dan komprehensif agar praktik ini hilang."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.