bet365Ͷעners / Citizen Journalism
Pengesahan UU BUMN, DPR RI Mengkhianati Penegakan Hukum dan Semangat Anti Korupsi
Secara prosedural, pengesahan UU BUMN cacat formil di mana hampir nihilnya partisipasi publik hingga tidak adanya transparansi
Editor:
Facundo Chrysnha Pradipha
Oleh Pdt. Penrad Siagian
Anggota DPD RI 2024-2029
ո³.䰿- Disahkannya Revisi perubahan UU BUMN N0 19 Tahun 2003 Menjadi UU BUMN No. 1 Tahun 2025 Pada tanggal 4 Februari 2025 oleh DPR RI memperlihatkan selain secara prosedur menyalahi dan melanggar mekanisme penyusunan UU sebagaimana dipersyaratkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) juga merupakan pengkhianatan terhadap semangat dan mandat reformasi terhadap anti korupsi.
Wajah Undang-Undang yang Inkonstitusional
Secara prosedural, pengesahan UU BUMN cacat formil di mana hampir nihilnya partisipasi publik hingga tidak adanya transparansi, dan oleh karenanya, bisa disebut inkonstitusional.
Mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas diatur bahwa kegiatan penyampaian informasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan melalui media elektronik maupun media cetak agar terdapat masukan serta tanggapan wajib dilakukan oleh DPRdan Pemerintah.
Kewajiban ini melekat pada setiap tahapan, mulai sejak penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), penyusunan rancangan undang-undang (RUU), hingga pengundangan UU.
Lebih lanjut, Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ini menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pada ayat (4) dari pasal tersebut, diperjelas bahwa masyarakat wajib untuk dimudahkan dalam mengakses setiap naskah
akademik maupun rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun.
Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah Revisi UU ini lahir di awal masa sidang paripurna DPR RI tahun 2025.
Ia menjadi produk hukum sulung bagi periode ini.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa revisi ini sarat kepentingan politis. Kita ketahui bersama Rancangan Revisi UU BUMN tidak masuk pada Prolegnas Prioritas Tahunan, juga tidak masuk dalam carry over pembahasan tahun sebelumnya.
Justru pada titik inilah menjadi pertanyaan besar mengenai urgensi dan justifikasi pembahasan di awal tahun 2025 dan menjadi buah sulung legislasi DPR RI periode 2024-2029.
Selain inkonstitusional, pengesahan ini memperlihatkan DPR RI mengkhianati penegakan hukum dan semangat Anti Korupsi. Ini artinya DPR mengkhianati seluruh rakyat Indonesia. DPR harusnya sadar, keberadaan mereka saat ini adalah hasil dari reformasi dengan yg salah satunya adalah semangat anti korupsi.
Mengebiri Semangat Anti Korupsi
Semangat Anti Korupsi sepertinya sudah tidak ada lagi di tubuh lembaga yang menyebut diri merupakan perwakilan rakyat ini. Betapa tidak revisi atas UU BUMN memperlihatkannya cukup jelas.
Sejumlah pasal yang dirancang baik untuk BUMN maupun Danantara melalui UU BUMN ini berpotensi kuat untuk bukan hanya melanjutkan dan memperburuk trenkorupsi yang selama ini marak terjadi di lingkungan BUMN, tetapi juga menjadikan kasus korupsi menjadi sulit atau bahkan tidak dapat lagi dideteksi keberadaannya oleh penegak hukum.
Padahal kita tahu, daei tahun ke tahun, dekade ke dekade ada saja korupsi yang terjadi di berbagai BUMN kita.
Indonesian Corruption Watch mencatat terdapat sedikitnya 212 kasus korupsi yang terjadi di tubuh BUMN sepanjang 2016–2023 dengan total kerugian negara sebanyak Rp64 triliun.
Maka, jika benar bahwa revisi UU BUMN ini adalah untuk makin melancarkan aksi korupsi, kita harus bersiap menghadapi kerugian negara yang lebih banyak ke depan.
Kritik pada UU No 1 Tahun 2025
Paling tidak ada 3 hal krusial bahwa Revisi UU BUMN oleh DPD RI sangat jelas mematikan semangat anti korupsi, yang pertama adalah pemangkasan fungsi - fungsi pengawasan yang dulunya melekat pada BUMN. Sebagai salah satu contoh, pada Pasal 71 UU BUMN yang lama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dibekali kewenangan untuk melakukan pemeriksaan/ audit terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Pasca revisi UU BUMN, BPK kini hanya dapat melakukan audit terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) itupun dalam ketentuan yang baru ini bila ada permintaan alat kelengkapan DPR yang membidangi BUMN. Jelas ini berpotensi untuk menghadirkan politisasi terhadap fungsi pengawasan keuangan yang idealnya bersifat profesional, akuntabel, dan lepas dari segala anasir politik.
Praktis, PDTT yang selama ini dilakukan oleh BPK untuk keperluan investigasi demi mengungkap indikasi kerugian negara dan/atau adanya unsur pidana seperti korupsi, kini perlu mendapatkan “restu” terlebih dahulu dari cabang kekuasaan politik yang tentu akan sarat dengan konflik kepentingan dan justru menghalangi fungsi-fungsi pengawasan yang optimal.
Yanh kedua, terkait pasal 3X ayat 1 dan Pasal 9G yang menyatakan bahwa organ-organ penyelenggara BUMN BUKAN lagi masuk kategori penyelenggara Negara.
Ini artinya bahwa sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka KPK tidak lagi bisa melakukan investigasi dan Penindakan apabila terjadi kasus korupsi di tubuh BUMN.
Pasal 11 ayat 1: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Maka dengan UU BUMN hasil revisi ini, KPK tidak lagi dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap indikasi tindak pidana korupsi menyangkut kerugian negara yg dilakukan oleh penyelenggara - penyelenggara dna para pejabat DI BUMN.
Pengesahan UU BUMN ini tentu menjadikan pertanyaan besar apa yang diinginkan DPR RI saat mengesahkan revisi UU BUMN ini.
Ketiga, dihilangkannya frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” dalam UU BUMN hasil revisi ini mengandung arti bahwa dana yang diperoleh oleh BUMN dari negara tidak dimaknai lagi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.
Implikasi dari hilangnya frasa tersebut dapat diartikan bahwa kekayaan BUMN tidak lagi masuk ke dalam definisi keuangan negara.
Ketentuan-ketentuan dalam UU BUMN seperti pemisahan kekayaan negara dan pejabat BUMN yang tidak lagi masuk dalam kategori pejabat publik justru memberikan perlindungan mutlak bagi orang-orang yang berkehendak melakukan suap di dalam tubuh BUMN.
Maka dalam hal ini sebagai perwakilan rakyat daerah, saya mempertanyakan revisi UU BUMN ini untuk siapa?
Dari wajah proses legislasi yang abnormal, substansi yang cenderung tidak pro pada kepentingan negara secara umum dan masyarakat pada khususnya tentu revisi ini bukan untuk kepentingan rakyat sang pemberi mandat konstitusional kepada DPR RI yang seakan tergopoh-gopoh ingin segera mensahkan revisi UU BUMN.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.