Pemilihan Kepala Daerah
Gugatan PSU Banggai, Pakar Nilai Janjikan Bantuan untuk Rumah Ibadah Bentuk Pelanggaran Kampanye
Menjanjikan bantuan untuk rumah ibadah merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Pelanggaran yang dimaksud yaitu menjadikan rumah ibadah sebagai tempat
Penulis:
Muhammad Zulfikar
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang gugatan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Banggai di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/4/2025), Hakim Konstitusi Saldi Isra mencecar sumbangan Rp 100 juta yang dituduhkan Pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Banggai nomor urut 3, Sulianti Murad dan Samsul Bahri Mang kepada paslon nomor urut 1, Amirudin dan Furqanuddin Masulili.
Saldi Isra menanyakan perihal tuduhan sumbangan Rp 100 juta yang diumumkan di Masjid Nurul Huda kepada ratusan jemaah. Padahal proses pemungutan suara ulang (PSU) belum dilaksanakan.
Hal itu mengemuka dalam sidang yang beragendakan mendengarkan jawaban pihak termohon, terkait dan Bawaslu.
Terkait hal tersebut, Ketua Umum Persatuan Doktor Indonesia Abdul Chair Ramadhan menegaskan menjanjikan bantuan untuk rumah ibadah merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Pelanggaran yang dimaksud yaitu menjadikan rumah ibadah sebagai tempat kampanye.
"Perbuatan menjanjikan uang tersebut juga telah menjadikan tempat ibadah sebagai tempat kampanye. Demikian itu sebagai resultan dari keputusan dan atau tindakan yang dibuat olehnya dan dimaksudkan untuk menguntungkan dirinya atau merugikan Paslon yang lain," kata Abdul melalui keterangannya Rabu (30/4/2025).
Baca juga: Pasangan Suryatati dan Ii Sumirat Gugat Hasil PSU Bengkulu Selatan ke MK, Ini Sejumlah Permohonannya
Ia menjelaskan pelanggaran tersebut mengandung unsur pidana. Sebab, melanggar Pasal 69 jo Pasal 71 jo Pasal 187A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
"Dengan demikian terhadap perbuatan menjanjikan uang sebesar Rp 100 juta yang dilakukan di tempat ibadah, walaupun akibat yang timbul (in casu akan menguntungkan dirinya atau merugikan Paslon yang lain) tidak dikehendaki olehnya, tetap saja yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana," ujarnya.
Terlebih, perbuatan itu dilakukan secara berlanjut. Sertya terdapat fakta adanya pengakuan di sidang Mahkamah Konstitusi bahwa uang tersebut ditunda sebelum dicairkan sebab adanya PSU.Ìý
"Dapat disimpulkan dalam perbuatan a quo, sudah terdapat mens rea pada diri yang bersangkutan," sebut dia.
Dia menyampaikan janji bantuan tersebut juga bertentangan dengan maksud putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan digelarnya PSU.
Petahana yang memiliki posisi dominan dinilai melakukan perbuatan berlanjut dengan melawan hukum yang didalamnya terdapat itikad tidak baik dalam hal pemberian janji.
Ìý
"Delik a quo adalah delik formil, sepanjang perbuatan telah sesuai dengan rumusan norma-norma sebagaimana dimaksudkan, maka pelaku dapat dipidana tanpa harus adanya akibat yang timbul (in casu terpengaruhnya Pemilih)," tuturnya.
Abdul menilai perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut oleh aparat penegak hukum terkait adanya dugaan pelanggaran tersebut. Penegakan hukum harus mendasarkan pada asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana aksiologi hukum yang dianut UUD 1945.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.