Tunjangan Hari Raya
SE Menaker soal THR Driver Ojol Dinilai Tak Punya Kekuatan Hukum
Analis kebijakan transportasi, Azas Tigor Nainggolan, menyoroti SE Menteri Ketenagakerjaan tentang pemberian THR bagi driver ojol.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Bobby Wiratama
°Õ¸é±õµþ±«±·±··¡°Â³§.°ä°¿²ÑÌý- Analis kebijakan transportasi, Azas Tigor Nainggolan, menyoroti Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor M/3/HK.04.O0/III/2025 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi tidak memiliki kepastian hukum.
Menurut Tigor, SE ini bukan solusi atas permasalahan kepastian hukum bagi pengemudi ojek online (ojol).
"Isi SE ini hanya mengimbau dan mengubah dari Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi Bonus Hari Raya (BHR)."
"Berarti pemerintah dalam hal ini sadar betul bahwa tidak bisa memaksa tetapi hanya mengimbau para aplikator memberikan BHR," ungkap Tigor kepada bet365×ãÇòͶעnews, Selasa (11/3/2025).
Pemerintah, menurut Tigor, sadar betul tidak bisa memaksa memberikan THR tetapi BHR karena hubungan antara aplikator dan pengemudi ojol adalah sebagai mitra.Â
Menurutnya, BHR hanyalah solusi jangka pendek berbasis kepedulian, bukan kepastian hukum.
Ia menilai bahwa perubahan istilah dari THR ke BHR merupakan pengakuan tidak langsung bahwa ojek online seharusnya diakui dalam undang-undang transportasi.
Tidak Ada Kekuatan Hukum
Tigor juga mengkritisi penggunaan SE sebagai dasar kebijakan. Menurutnya, SE bukanlah regulasi hukum yang memiliki kekuatan mengikat karena tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia.
"Surat Edaran hanya berlaku untuk internal instansi yang mengeluarkannya. Sementara SE Menaker ini ditujukan kepada pengusaha aplikasi."
"Ini menjadi persoalan karena pengusaha aplikasi bukan bagian dari instansi yang menerbitkan SE tersebut," tegasnya.
Baca juga: Segini Besaran THR Pengemudi Ojol
Dalam sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki hierarki yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
SE tidak masuk dalam daftar regulasi tersebut, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Regulasi Hukum untuk Ojek Online Diperlukan
Lebih lanjut, Tigor menilai bahwa permasalahan utama bukan sekadar pemberian THR atau BHR, melainkan tidak adanya kepastian hukum bagi bisnis layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia.
Saat ini, ojek online tidak diakui sebagai alat transportasi umum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.