Serikat Buruh: Daya Beli Melemah saat Momen Lebaran karena PHK Massal Terus Terjadi
Mirah Sumirat melihat melemahnya daya beli masyarakat saat momen Lebaran disebabkan terus terjadinya PHK massal.
Penulis:
Dennis Destryawan
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat melihat melemahnya daya beli masyarakat saat momen Lebaran disebabkan terus terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
"PHK massal terjadi sejak 2024. Tidak heran daya beli melemah," ujar Mirah saat dihubungi, Kamis (3/4/2025).
Mirah menekankan, PHK terhadap para pekera memperlambat berputarnya roda perekonomian. Ditambah, lanjut dia, para pekerja juga cenderung mempersiapkan dana mereka untuk anak-anak masuk sekolah.
Baca juga: Di Tengah Isu PHK, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Pastikan Iklim Investasi Terus Membaik
"Jadi memang PHK yang menimpa para pekerja buruh berpengaruh kuat terhadap daya beli," tutur Mirah.
Karena itu, pemerintah diminta untuk menginstruksikan para pengusaha untuk tidak mudah melakukan PHK terhadap para buruh. Selain itu, juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak membuat sulit pengusaha hingga pekerjanya.
"Pemerintah seharusnya memberikan peringatan tidak memberi PHK di tengah situasi ini, apalagi Presiden sudah meminta tidak ada PHK," terang Mirah.
Sebelumnya, data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebanyak 44.069 buruh yang ter-PHK pada Januari-Februari 2025 dari 37 perusahaan. 37 perusahaan tersebut ada yang menutup pabriknya, pailit, dalam PKPU, efisiensi, dan relokasi.
Beberapa informasi perusahaan besar yang tutup misalnya, Sritex Group dengan total karyawan ter-PHK sebanyak 11.025 buruh, PT Yamaha Music Piano 1.110 buruh PHK, PT Sanken Indonesia 900 butuh PHK, hingga PT Victory Ching Luh 2.000 PHK.
Sedangkan, CORE Indonesia mengungkapkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah semakin terhimpit jelang Lebaran 2025.
Dalam laporan CORE Indonesia yang berjudul Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025, sejumlah indikator ekonomi menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat tidak menunjukkan gairah meski telah menjelang Lebaran.
Secara langsung, pelemahan konsumsi ini dapat dilihat dari tidak nampaknya tren berbelanja untuk kebutuhan Ramadhan dan Lebaran. Bahkan CORE Indonesia melihat hingga pekan ketiga Ramadhan, konsumsi rumah tangga masih lesu. Sebaliknya, ada sinyal kuat bahwa kelompok rumah tangga menengah ke bawah mengerem belanja.
Baca juga: Gelombang PHK Terjadi di Industri Padat Karya, Januari-Februari 40.000 Buruh Kehilangan Pekerjaan
CORE berpendapat gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran ini terlihat dari tren deflasi pada awal 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat Indonesia mengalami deflasi pada Februari 2025. Deflasi Februari tercatat secara tahunan sebesar 0,09 persen, bulanan sebesar 0,48 persen, dan juga secara tahun berjalan atau year-to-date sebesar 1,24 persen.
Faktor terbesar penyumbang deflasi berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025 lalu.
Kendati demikian, CORE melihat adanya kejanggalan. Deflasi Februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut, melainkan juga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau, dengan andil deflasi 0,12 persen secara bulanan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.