Mahkamah Konstitusi Putuskan Batasan Kerusuhan dalam UU ITE, Ini Implikasinya
MK memutuskan batasan "kerusuhan" dalam UU ITE, hanya yang mengganggu ketertiban fisik yang dapat dipidana, memberi perlindungan lebih pada kebebasan
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatasi makna "kerusuhan" dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menegaskan bahwa kerusuhan yang dapat dipidana hanya yang mengganggu ketertiban umum di dunia fisik, bukan di dunia maya.Â
Putusan ini memberikan perlindungan lebih kuat terhadap kebebasan berekspresi, terutama di ruang digital, dan mencegah kriminalisasi atas kritik yang bertujuan untuk kepentingan umum.
Dalam Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (29/4/2025), MK menegaskan bahwa kritik yang disampaikan untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana hanya karena menimbulkan perdebatan di ruang digital.
Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan dari Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa yang menggugat sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Salah satu keputusan penting dalam putusan tersebut adalah pembatasan makna "kerusuhan" dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.
"Kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta.
Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan dalam UU ITE mengenai kerusuhan yang mengganggu ketertiban di dunia maya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga: Putusan MK: Pasal Menyerang Kehormatan dalam UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah dan Korporasi
Kerusuhan yang Dapat Dipidana Hanya di Dunia Fisik
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa hukum tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara, terutama kritik yang bertujuan menjaga akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
"Kerusuhan yang dimaksud dalam hukum pidana hanya berlaku untuk kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau dunia maya," kata Suharto.
Perlindungan Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital
Mahkamah juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang dilindungi oleh negara.
Sebagai bagian dari negara hukum, hak warga negara untuk mengkritik penyelenggara pemerintahan demi kepentingan umum harus dilindungi, terutama di platform digital yang kini menjadi ruang utama untuk menyampaikan pendapat.
MK menegaskan bahwa pemidanaan terhadap kritik di dunia maya dapat merusak prinsip demokrasi dan menimbulkan efek jera di kalangan masyarakat.
Apa Implikasi Putusan MK Ini?
Putusan ini memiliki implikasi yang signifikan bagi pelaksanaan hukum di Indonesia, terutama dalam konteks kebebasan berpendapat dan penggunaan media sosial.
MK memutuskan untuk mempertegas bahwa penyebaran opini atau kritik di dunia maya, yang tidak mengganggu ketertiban fisik, tidak dapat dipidana. Hal ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih bebas menyuarakan pendapat tanpa takut terjerat masalah hukum yang tidak berdasar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.